20 April 2009

seorang anak


6 bulan ini pertanyaan wajib yang seringkali dilontarkan pada saya dan suami adalah mengenai bagaimana keberhasilan kami menjadikan sebutir sel ovum dan seekor sperma kecil menjadi bongkahan zigot di perut saya. Kenyataannya, sejauh ini kami masih berdua saja. Perut saya masih buncit gara2 lemak, tidak ada makhluk lain di tubuh saya, kecuali mungkin mikroba-mikroba yang tak kasat mata.
Depresi? mungkin, stress? sepertinya. Pertanyaan yang tak berhenti bergulir itu memicu emosi saya menjadi tak menentu. Saya pun mulai menyelidik, seberapa besar kesiapan kami jika suatu saat Tuhan memberi tanggung jawab berselubung anugerah itu. Saya merasa, sejauh ini saya cukup mampu untuk menyayangi anak-anak. Pun suami saya.
Weekend kemarin, keponakan saya dititipkan sehari semalam di rumah. Tadinya saya menyambut dengan gembira. Dia keponakan favorit saya. Pintar, lucu, dan tidak nakal. Saya sangat dekat dengannya. Bahkan, dia menyebut dirinya sudah lengket dengan saya. klop sudah. Saya yang sendiri ditinggal suami plus keponakan favorit. saya membayangkan akan menjadi weekend yang menyenangkan.
Tapi, ternyata dia tidak seperti bayangan saya. Entah bagaimana, dia berubah menjadi anak yang suka merajuk. manja. dan saya capek. Ternyata, si keponakan itu bisa berubah menyebalkan di mata saya.
Waktu saya mengadu pada suami di telepon, dia malah meledek, " kamu juga pasti menyebalkan waktu kecil" Hmmm, saya membayangkan dia menyatakan itu dengan tatapan kemenangan. Oke, saya tau, sampai saat ini saya juga kadang-kadang masih bersikap menyebalkan. hasil pembicaraan hari itu, saya harus lebih bersabar.
Perenungan saya, mungkinkah hal ini merupakan jawaban 6 bulan pertanyaan yang tak kunjung dijawab itu? Tentang saya yang sebenarnya belum siap karena saya belum bisa sabar. Bisa saja itu jawabannya. Tapi, itu cuma satu dari banyak option yang Tuhan rencanakan. Bisa saja, Tuhan memberikan seorang anak detik ini juga agar saya belajar bersabar bersamanya. Only God that knows :)